Minggu, 01 Agustus 2010
Penciptaan Adam
Alhaq ta'ala menjadikan bentuk zahir Adam dari bentuk dan hakikat alam, dan Dia menjadikan bentuk bathinnya atas bentuk Alhaq ta'ala. karena ini Dia berfirman tentangnya: "Aku adalah pendengaran dan penglihatannya", Dia tidak mengatakan "aku adalah mata dan telinganya" (bedakan antar dua illustrasi tersebut). Seperti inilah keberadaan Alhaq di dalam setiap maujud daripada alam, Dia tampil berdasarkan kadar yang menjadi kebutuhan hakikat maujud tersebut. (fusush Alhikam bab I)
ALHAQ
kalau bukan karena efektifitas Alhaq di dalam wujud melalui bentuk, maka tidak ada wujud bagi alam. (fushush Alhikam baba I )
Penyusunan Tubuh Adam
Allah ta'ala tidak akan melakukan penyusunan atas tubuh adam di antara kedua tanganNya kecuali atas alasan pemulyaan. Karena itu Dia berkata kepada iblis: "apa yang menghalangimu untuk susjud kepada apa yang telah aku ciptakan dengan kedua tanganKu" ? Adam tiada lain melainkan sosok yang komposisinya tersusun atas dua bentuk; bentuk alam dan bentuk Alhaq taala dan keduanya merupakan kedua tangan Alhaq ta'ala" (fusush alhikam bab I)
universalitas
Al amru al-kulliyah (universalitas) adalah esensi logis yang mendasari keberadaan sesuatu. Dia tidak maujud sebab dia tidak memiliki wujud fisik, namun dia tidak ma'dum (tiada) sebab dia memiliki hukum pada setiap maujud material. Dia menerima hukum pada tingkat esensi maujud namun dia tidak menerima pembagian dan pemisahan sebab hal tersebut mustahil atasnya. (fusush Alhkam bab I)
Jumat, 30 Juli 2010
Ilmu Zauq
Banyak penjelasan yang coba mengurai keberadaan manusia dan perannya di dalam konstalasi semesta, penjelasan itu memberi kita pedoman dasar dalam memahami siapa kita. Sekian banyak penjelasan sudah dibuat, sekian pemahaman sudah kita reguk, tapi, kenapa semua itu tidak bisa membuat kita tertarik semakin dekat ke dalam diri kita dan membuat kita semakin mengenali diri kita. Ada sesuatu yang "janggal" di sisni. Penjelasan yang mengatakan bahwa manusia hanyalah sosok mahluk pisik semata ternyata tidak memadai, ada identitads lain di dalam diri kita yang kita yakini sebagai identitas paling dasar dari diri kita. Tetapi sarana-sarana intelektual yang kita miliki tidak cukup memadai untuk kita pakai menelusuru identitas "dalam" itu. Karena itu Ibnu Arabi mengembangkan piranti intelektual yang khusus dipakai untuk menjelajahi area itu; dia menamainya dengan ilmu "Zauq". Seperti apakah keberadaan ilmu Zauq itu? Menjawab pertanyaan itu berarti kita mulai memasuki kerumitan teoritus dari wilayah "metafisika mistis".
Secara katergori ada dua model pendekatan yang biasa kita pakai di dalam mengelaborasi keberadaan kita, alam dan (tentunya) tuhan. Pertama pendekatan berbasis logika, kedua pendekatan berbasis metafisika. Kedua model pendekatan ini, meski bertolak dari data yang sama, memunculkan dua model "proyeksi" di akhir kesimpulannya. Dua model proyeksi ini berikut pergesekan antara keduanya telah menjadi warna wacana di dalam sejarah ilmu pengetahuan. Sejauh manakah pendekatan berbasis metafisika ini memberi kita kelengkapan data yang itu tidak bisa disumbangkan oleh pendekatan berbasis logika? untuk menjawab pertanyaan ini berarti kita harus menyelam lebih dalam lagi.
Secara semantik, makna kata "zauq" adalah rasa, tetapi 'rasa" dimaksud adalah rasa yang merupakan hasil dari optimalisasi fungsi-fungsi spritual dan kasyf. Pendakian ke puncak tertinggi spritual akan memberi orang semacam kesadaran "tingkat kedua" yang dengan kesadaran itu dia bisa menembus semua "lapisan" pemahaman. Pendakian ke puncak tertinggi spritual akan memberi orang semacam kesadaran intuitif yang dengan kesadaran itu dia bisa menembus jaringan pemahaman atas semua lapisan materi hingga pada tuhan. Inilah yang kami maksud dengan kesadaran metafisis. Bisakah semua orang memiliki bentuk kesadaran ini ? Ibnu Arabi di dalam kitabnya yang berjudul "fushush Alhikam" menjelaskan: "thema ini tidak bisa diketahui oleh akal melalui teori pemikiran, akan tetapi thema ini berasal dari "idrak" (pencapaian) yang tidak akan ada melainkan dari kasyf (pembukaan) ilahi" (fushush alhikam bab I).
Kedalaman jangkauan dari pendekatan metafisis memberi kita data yang lebih lengkap tentang apa dan siapa kita. Tetapi, sebagaimana selalu, pendekatan logis yang hanya mengelaborasi hal-hal yang faktual dari diri kita lagi-lagi tidak bisa kompromi dengan temuan metafiska ini. Alhasil, Ibnu Arabi dan orang semisalnya sering dicap sesat dan bahkan kufur. Perseteruan akut antara dua model pendekatan ini berikut temuannya telah mewarnai langkah-langkah sejarah wacana ilmu pengetahuan, dan telah memunculkan banyak moment menarik. Sejauh manakah perbedaan antara dua model pendekatan ini di dalam deskripsinya? gambaran berikut ini akan memberi kita illustrasi tentang perbedaan karaktaer keduanya. Pendekatan logis di dalam penjelasannya sering seakan menarik garis batas yang jelas antara hal-hal yang bersipat fisik-faktual dengan yang imajinatif-transedental. Sedang pendekatan metafisika tidak memiliki karakter pemetaan seperti itu. Bila pemahaman logis anda menjelaskan prihal keberadaan diri anda kepada anda sebagaimana anda pahami yaitu bahwa anda adalah mahlik pisik yang dibedakan dari Pencipta, maka penjelasan metafisika memberikan penjelasan yang berbeda. Ibnu Arabi mengatakan: "insan adalah manusia baharu yang azali, kreasi riil yang abadi dan firman terdiffrensiasi yang padu" (fushush alhikam baba I).
Secara katergori ada dua model pendekatan yang biasa kita pakai di dalam mengelaborasi keberadaan kita, alam dan (tentunya) tuhan. Pertama pendekatan berbasis logika, kedua pendekatan berbasis metafisika. Kedua model pendekatan ini, meski bertolak dari data yang sama, memunculkan dua model "proyeksi" di akhir kesimpulannya. Dua model proyeksi ini berikut pergesekan antara keduanya telah menjadi warna wacana di dalam sejarah ilmu pengetahuan. Sejauh manakah pendekatan berbasis metafisika ini memberi kita kelengkapan data yang itu tidak bisa disumbangkan oleh pendekatan berbasis logika? untuk menjawab pertanyaan ini berarti kita harus menyelam lebih dalam lagi.
Secara semantik, makna kata "zauq" adalah rasa, tetapi 'rasa" dimaksud adalah rasa yang merupakan hasil dari optimalisasi fungsi-fungsi spritual dan kasyf. Pendakian ke puncak tertinggi spritual akan memberi orang semacam kesadaran "tingkat kedua" yang dengan kesadaran itu dia bisa menembus semua "lapisan" pemahaman. Pendakian ke puncak tertinggi spritual akan memberi orang semacam kesadaran intuitif yang dengan kesadaran itu dia bisa menembus jaringan pemahaman atas semua lapisan materi hingga pada tuhan. Inilah yang kami maksud dengan kesadaran metafisis. Bisakah semua orang memiliki bentuk kesadaran ini ? Ibnu Arabi di dalam kitabnya yang berjudul "fushush Alhikam" menjelaskan: "thema ini tidak bisa diketahui oleh akal melalui teori pemikiran, akan tetapi thema ini berasal dari "idrak" (pencapaian) yang tidak akan ada melainkan dari kasyf (pembukaan) ilahi" (fushush alhikam bab I).
Kedalaman jangkauan dari pendekatan metafisis memberi kita data yang lebih lengkap tentang apa dan siapa kita. Tetapi, sebagaimana selalu, pendekatan logis yang hanya mengelaborasi hal-hal yang faktual dari diri kita lagi-lagi tidak bisa kompromi dengan temuan metafiska ini. Alhasil, Ibnu Arabi dan orang semisalnya sering dicap sesat dan bahkan kufur. Perseteruan akut antara dua model pendekatan ini berikut temuannya telah mewarnai langkah-langkah sejarah wacana ilmu pengetahuan, dan telah memunculkan banyak moment menarik. Sejauh manakah perbedaan antara dua model pendekatan ini di dalam deskripsinya? gambaran berikut ini akan memberi kita illustrasi tentang perbedaan karaktaer keduanya. Pendekatan logis di dalam penjelasannya sering seakan menarik garis batas yang jelas antara hal-hal yang bersipat fisik-faktual dengan yang imajinatif-transedental. Sedang pendekatan metafisika tidak memiliki karakter pemetaan seperti itu. Bila pemahaman logis anda menjelaskan prihal keberadaan diri anda kepada anda sebagaimana anda pahami yaitu bahwa anda adalah mahlik pisik yang dibedakan dari Pencipta, maka penjelasan metafisika memberikan penjelasan yang berbeda. Ibnu Arabi mengatakan: "insan adalah manusia baharu yang azali, kreasi riil yang abadi dan firman terdiffrensiasi yang padu" (fushush alhikam baba I).
kita
kita sering merasa bahwa kita adalah kita. sejauh manakah kita bisa mengenali diri kita? kenapa sebagian besar diri kita sampai saat ini masih menjadi misteri paling rumit bagi kita ?
apakah ?
apakah hal yang mendasai keberadaan sesuatu ? seberapa jauhkah data yang kita miliki bisa menjelaskan keberadaan sesuatu?
kenapa dalam banyak hal kiita sering "dikalahkan" oleh diri kita sendiri ?
kenapa dalam banyak hal kiita sering "dikalahkan" oleh diri kita sendiri ?
apakah ?
apakah esensi nafas itu ?
kenapa nafas menjadi identifikasi awal dari keberadaan suatu kehidupan ?
dari manakah napas itu bersumber ?
kenapa nafas menjadi identifikasi awal dari keberadaan suatu kehidupan ?
dari manakah napas itu bersumber ?
Langganan:
Postingan (Atom)